PULAU BADUL, SI JELITA YANG KINI MERANA

PULAU BADUL, SI JELITA YANG KINI MERANA

PULAU Badul yang berada di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, sebelum 22 Desember 2018 (terjadinya Tsunami Selat Sunda) adalah salah satu pulau yang banyak menarik wisatawan, baik lokal, nasional maupun mancanegara. Diantara beberapa pulau yang ada di Kecamatan Sumur (Oar dan Mangir), Badul bisa dibilang paling Jelita.

Selain pasir pantainya yang bersih dan airnya yang jernih (kehijau-hijauan), di pulau ini hidup beberapa jenis terumbu karang, baik yang sudah ada sebelumnya, maupun hasil transplantasi yang dilakukan oleh komunitas pencinta lingkungan di wilayah Sumur seperti Paniis Lestari (Panles), Yayasan Konservasi Selat Sunda (YKSS) dan Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK).

Setiap wisatawan yang sudah mengunjungi Pulau Badul, selalu mereferensikan kepada rekan atau yang lainnya untuk berkunjung ke pulau nan jelita tersebut. Semua postingan di blog (website pribadi/komunitas) maupun di media sosial dari semua pengunjung Pulau Badul, menyajikan kalimat-kalimat pujian akan keindahannya.

Badul yang lahannya tidak begitu luas, merupakan pulau tak berpenghuni. Ditumbuhi pepohonan rindang, di sudut pulau sebelah timur atau hanya sepertiganya. Jika singgah di sana, terasa si Jelita itu adalah milik kita. Bebas bermain di pasir pantai, berenang dan bisa juga untuk snorkeling melihat keindahan bawah lautnya.

Sabtu, 22 Oktober 2018, petaka menimpa si Jelita yang tengah memasuki masa puber. Gunung Anak Krakatau (GAK) yang saat itu mengalami erupsi mengalami longsor yang mengakibatkan gelombang tinggi atau disebut dengan Tsunami dan memporakporandakan wilayah pesisir pantai Kecamatan Sumur, termasuk Pulau Badul. Hanya dalam waktu beberapa menit saja, si Jelita terkoyak. Pepohonannya tersapu hingga rata, terumbu karang yang berada di kedalaman 3-5 meter pun hancur berkeping-keping. Yang tersisa hanya gundukan pasir tertimbun berjuta pecahan karang yang terangkat tsunami. Karang-karang yang awalnya ada di dasar laut, jutaan patahannya telah menutupi “tubuh” si Jelita hingga kini.

Beberapa bulan setelah kejadian tsunami, aktivitas pencinta alam seperti Panles, YKSS dan Petugas BTNUK melakukan monitoring/pemetaan kerusakan di pulau tersebut sekira September 2019. Setelah tiga kali melakukan monitoring, mereka menyata,  tingkat kerusakan terumbu karang di Pulau Badul mencapai 100 persen. Tak ada kehidupan yang tersisa, hanya bongkahan-bongkahan (media transplantasi terumbu karang) yang kini menghiasi bawah laut Pulau Badul.

Upaya untuk merehabilitasi kondisi terumbu karang di Pulau Badul pun sudah digagas pada tahun 2019 oleh sejumlah kalangan. Kepala Markas PMI Kota Cilegon, Nurwarta Wiguna yang saat itu sedang mengemban tugas Masa Pemulihan Tsunami Selat Sunda di Kecamatan Sumur, khususnya di wilayah Tunggaljaya, Cigorondong dan Tamanjaya, pernah mengajak diskusi dengan Komunitas Panles di kediaman RT Paniis, Omo Suardi W. Saat itu, sudah ada kesepahaman dan kesepakatan tidak tertulis untuk menggerakkan potensi masyarakat dan komunitas yang ada guna melakukan upaya rehabilitasi terumbu karang di Pulau Badul. Sayangnya, di tengah merancang konsep dan langkah-langkah aksi, Indonesia terserang Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19. Semua aktivitas pemerintahan dan masyarakat terfokus ke arah upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

Singkat cerita, si Jelita di Perairan Kecamatan Sumur ini menjadi terlupakan. Pulau Badul yang dulu mendatangkan rejeki bagi masyarakat sekitar, kini hanya sebatas onggokan pasir “berselimut” jutaan patahan terumbu karang. Tak ada lagi yang mendatangi, bahkan yang melirik pun sudah tidak ada. Tiada lagi wisatawan yang berlari-lari di atas pasir putihnya. Tiada lagi yang berenang dan menyelam.

Gagasan Gerakan Menanam di Dasar Laut

Pada akhir Agustus 2020, Manajer Sobong Terpadu Sumbangsih yang juga Kepala Markas PMI Kota Cilegon, Nurwarta Wiguna menggagas adanya satu gerakan dari seluruh komponen masyarakat, komunitas/kelompok di Kecamatan Sumur untuk melakukan Gerakan Menanam di Dasar Laut (GMDL). Gagasan itu kemudian dikomunikasikan dengan Komunitas Peduli Lingkungan Sekitar (Kompilasi), Panles, Berkah Jangkar Sam (BJS) pemilik Sobong (usaha perebusan ikan teri), Komandan Pos Angkatan Laut (Danpos AL) Kecamatan Sumur dan Anak Pantai Cipanon (APC).

Pada Sabtu, 5 September 2020 diadakan pertemuan bertempat di Sobong Terpadu Sumbangsih, Kampung Katapang, RT.03/RW.04, Desa Tunggaljaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang. Hasil dari pertemuan tersebut, digagaslah GMDL. Aksi awal yang dilakukan, menyampaikan gagasan GMDL ini kepada komunitas/institusi/lembaga/kelompok/organisasi masyarakat yang diharapkan bisa mendukung gerakan tersebut. Diakhir pertemuan tersebut disepakati GMDL akan dilaksanakan pada peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2020 berlokasi di Pulau Badul dan tanggal 10 November 2020 bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan di Pulau Liwungan, Kampung Cipanon, Desa Tanjungjaya, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang. Hasil pertemuan tersebut disampaikan kepada Camat Sumur.

Pada Sabtu, 12 September 2020, inisiator GMDL, Nurwarta Wiguna mengundang dari Pengurus Kwartir Ranting (Kwarran) Gerakan Pramuka Kecamatan Sumur, yang salah satu tujuannya adalah menyampaikan gagasan GMDL. Harapannya, agar GMDL bisa dijadikan agenda kegiatan Pramuka secara berkala melalui Saka Bahari. Ketua Kwarran Sumur, Yaya Jakaria mendukung GMDL dan akan membahasnya lebih lanjut di internal pengurus kwarran.

Selanjutnya, upaya menginformasikan GMDL secara luas lagi dilakukan oleh inisiator gerakan melalui media sosial Whatsapp (WA) dengan membuat grup yang dinamakan Forum Pelestari Terumbu Karang (F-PTK), membuat logo forum dan membangun website yang kini beralamat di https://fptkbanten.org.

Sekira pertengahan September 2020, istilah GMDL diubah menjadi Gerakan Rehabilitasi Terumbu Karang (GRTK) dengan adanya saran  dari Pembina YKSS, Mumu Muamalah yang juga pegawai di BTNUK. Alasannya, terumbu karang bukanlah tanaman, melainkan hewan, sehingga kalimat menanam dirasa tidak cocok untuk penamaan gerakan. Bahkan, Mumu juga mengenalkan media terumbu karang yang direkomendasikan oleh badan internasional berbentuk rak laba-laba.

Dalam waktu sekira 2 minggu, belasan komunitas/lembaga/institusi/organisasi, baik pemerintah maupun swasta, termasuk media massa cetak, elektronik maupun online tertarik untuk bergabung dan berdonasi untuk GRTK.***

PULAU BADUL, SI JELITA YANG KINI MERANA

PULAU Badul yang berada di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, sebelum 22 Desember 2018 (terjadinya Tsunami Selat Sunda) adalah salah satu pulau yang banyak menarik wisatawan, baik lokal, nasional maupun mancanegara. Diantara beberapa pulau yang ada di Kecamatan Sumur (Oar dan Mangir), Badul bisa dibilang paling Jelita.

Selain pasir pantainya yang bersih dan airnya yang jernih (kehijau-hijauan), di pulau ini hidup beberapa jenis terumbu karang, baik yang sudah ada sebelumnya, maupun hasil transplantasi yang dilakukan oleh komunitas pencinta lingkungan di wilayah Sumur seperti Paniis Lestari (Panles), Yayasan Konservasi Selat Sunda (YKSS) dan Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK).

Setiap wisatawan yang sudah mengunjungi Pulau Badul, selalu mereferensikan kepada rekan atau yang lainnya untuk berkunjung ke pulau nan jelita tersebut. Semua postingan di blog (website pribadi/komunitas) maupun di media sosial dari semua pengunjung Pulau Badul, menyajikan kalimat-kalimat pujian akan keindahannya.

Badul yang lahannya tidak begitu luas, merupakan pulau tak berpenghuni. Ditumbuhi pepohonan rindang, di sudut pulau sebelah timur atau hanya sepertiganya. Jika singgah di sana, terasa si Jelita itu adalah milik kita. Bebas bermain di pasir pantai, berenang dan bisa juga untuk snorkeling melihat keindahan bawah lautnya.

Sabtu, 22 Oktober 2018, petaka menimpa si Jelita yang tengah memasuki masa puber. Gunung Anak Krakatau (GAK) yang saat itu mengalami erupsi mengalami longsor yang mengakibatkan gelombang tinggi atau disebut dengan Tsunami dan memporakporandakan wilayah pesisir pantai Kecamatan Sumur, termasuk Pulau Badul. Hanya dalam waktu beberapa menit saja, si Jelita terkoyak. Pepohonannya tersapu hingga rata, terumbu karang yang berada di kedalaman 3-5 meter pun hancur berkeping-keping. Yang tersisa hanya gundukan pasir tertimbun berjuta pecahan karang yang terangkat tsunami. Karang-karang yang awalnya ada di dasar laut, jutaan patahannya telah menutupi "tubuh" si Jelita hingga kini.

Beberapa bulan setelah kejadian tsunami, aktivitas pencinta alam seperti Panles, YKSS dan Petugas BTNUK melakukan monitoring/pemetaan kerusakan di pulau tersebut sekira September 2019. Setelah tiga kali melakukan monitoring, mereka menyata,  tingkat kerusakan terumbu karang di Pulau Badul mencapai 100 persen. Tak ada kehidupan yang tersisa, hanya bongkahan-bongkahan (media transplantasi terumbu karang) yang kini menghiasi bawah laut Pulau Badul.

Upaya untuk merehabilitasi kondisi terumbu karang di Pulau Badul pun sudah digagas pada tahun 2019 oleh sejumlah kalangan. Kepala Markas PMI Kota Cilegon, Nurwarta Wiguna yang saat itu sedang mengemban tugas Masa Pemulihan Tsunami Selat Sunda di Kecamatan Sumur, khususnya di wilayah Tunggaljaya, Cigorondong dan Tamanjaya, pernah mengajak diskusi dengan Komunitas Panles di kediaman RT Paniis, Omo Suardi W. Saat itu, sudah ada kesepahaman dan kesepakatan tidak tertulis untuk menggerakkan potensi masyarakat dan komunitas yang ada guna melakukan upaya rehabilitasi terumbu karang di Pulau Badul. Sayangnya, di tengah merancang konsep dan langkah-langkah aksi, Indonesia terserang Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19. Semua aktivitas pemerintahan dan masyarakat terfokus ke arah upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

Singkat cerita, si Jelita di Perairan Kecamatan Sumur ini menjadi terlupakan. Pulau Badul yang dulu mendatangkan rejeki bagi masyarakat sekitar, kini hanya sebatas onggokan pasir "berselimut" jutaan patahan terumbu karang. Tak ada lagi yang mendatangi, bahkan yang melirik pun sudah tidak ada. Tiada lagi wisatawan yang berlari-lari di atas pasir putihnya. Tiada lagi yang berenang dan menyelam.

Gagasan Gerakan Menanam di Dasar Laut

Pada akhir Agustus 2020, Manajer Sobong Terpadu Sumbangsih yang juga Kepala Markas PMI Kota Cilegon, Nurwarta Wiguna menggagas adanya satu gerakan dari seluruh komponen masyarakat, komunitas/kelompok di Kecamatan Sumur untuk melakukan Gerakan Menanam di Dasar Laut (GMDL). Gagasan itu kemudian dikomunikasikan dengan Komunitas Peduli Lingkungan Sekitar (Kompilasi), Panles, Berkah Jangkar Sam (BJS) pemilik Sobong (usaha perebusan ikan teri), Komandan Pos Angkatan Laut (Danpos AL) Kecamatan Sumur dan Anak Pantai Cipanon (APC).

Pada Sabtu, 5 September 2020 diadakan pertemuan bertempat di Sobong Terpadu Sumbangsih, Kampung Katapang, RT.03/RW.04, Desa Tunggaljaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang. Hasil dari pertemuan tersebut, digagaslah GMDL. Aksi awal yang dilakukan, menyampaikan gagasan GMDL ini kepada komunitas/institusi/lembaga/kelompok/organisasi masyarakat yang diharapkan bisa mendukung gerakan tersebut. Diakhir pertemuan tersebut disepakati GMDL akan dilaksanakan pada peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2020 berlokasi di Pulau Badul dan tanggal 10 November 2020 bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan di Pulau Liwungan, Kampung Cipanon, Desa Tanjungjaya, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang. Hasil pertemuan tersebut disampaikan kepada Camat Sumur.

Pada Sabtu, 12 September 2020, inisiator GMDL, Nurwarta Wiguna mengundang dari Pengurus Kwartir Ranting (Kwarran) Gerakan Pramuka Kecamatan Sumur, yang salah satu tujuannya adalah menyampaikan gagasan GMDL. Harapannya, agar GMDL bisa dijadikan agenda kegiatan Pramuka secara berkala melalui Saka Bahari. Ketua Kwarran Sumur, Yaya Jakaria mendukung GMDL dan akan membahasnya lebih lanjut di internal pengurus kwarran.

Selanjutnya, upaya menginformasikan GMDL secara luas lagi dilakukan oleh inisiator gerakan melalui media sosial Whatsapp (WA) dengan membuat grup yang dinamakan Forum Pelestari Terumbu Karang (F-PTK), membuat logo forum dan membangun website yang kini beralamat di https://fptkbanten.org.

Sekira pertengahan September 2020, istilah GMDL diubah menjadi Gerakan Rehabilitasi Terumbu Karang (GRTK) dengan adanya saran  dari Pembina YKSS, Mumu Muamalah yang juga pegawai di BTNUK. Alasannya, terumbu karang bukanlah tanaman, melainkan hewan, sehingga kalimat menanam dirasa tidak cocok untuk penamaan gerakan. Bahkan, Mumu juga mengenalkan media terumbu karang yang direkomendasikan oleh badan internasional berbentuk rak laba-laba.

Dalam waktu sekira 2 minggu, belasan komunitas/lembaga/institusi/organisasi, baik pemerintah maupun swasta, termasuk media massa cetak, elektronik maupun online tertarik untuk bergabung dan berdonasi untuk GRTK.***